Pin It

19 December 2015

Peristiwa 27 Juli 1996 Dalam Catatan

Bagi seorang pembaca sejarah pasti sudah mahfum akan kebenaran ungkapan “tidak ada lawan dan kawan abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan.”  Kalimat tersebut berlaku untuk setiap waktu dan setiap jaman, tidak hanya sekarang dan masa lalu, melainkan untuk selamanya hingga akhir zaman nanti. Bagi mereka yang membaca sejarah tentunya tidak akan kaget atau aneh melihat akrobat politik akhir-akhir ini. Melihat bagaimana orang-orang yang dahulunya bahu membahu kini saling menikam. Orang yang dahulunya saling bergandengan tangan kini saling menyikut. 


“Jangan rendah diri, jangan kecil hati dan minder. Tunjukkan bahwa kebenaran dan keadilan tidak pernah sirna.  Ucapkan hati nurani dengan suara lantang agar semua orang mendengar” kata Mega, di depan warga PDI pendukungnya yang menjadi terdakwa ‘Peristiwa 27 Juli’ dan ‘Peristiwa Gambir 20 Juni’...

Siapapun yang tidak mengingat sejarah, akan dikutuk untuk mengalaminya kembali. Douwwes Dekker (Danudirja Setiabudhi) pernah mengatakan bahwa sejarah harus dilihat sebagai satu proses upaya manusia untuk mencapai kesempurnaan. Di dalamnya penuh dengan tumpahan darah, intrik, dan kehancuran. Namun semua itu merupakan jalan terjal untuk mencapai puncak cita-cita kesempurnaan. Nah, bagi siapapun yang tidak mau mempelajari sejarah, mereka hanya akan terus mengulangi proses berdarah-darah tanpa pernah mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu mari kita mengingat sejarah apabila tidak mau mengalami kemalangan yang pernah dialami orang-orang sebelum kita.

Bangsa kita adalah bangsa yang besar, tapi sangat lemah ingatannya. Apabila melihat intrik politik yang terjadi saat ini, ketika (aku menyebutnya) kubu Orde Lama melawan Orde Baru, kita sejenak melupakan peristiwa yang baru berlangsung sekitar belasan tahun dari sekarang. Suatu massa yang disebut dengan kemunculan “Orde Reformasi”. Ketika orang-orang yang bertikan di panggung politik saat ini memiliki musuh bersama yang bernama Orde Baru. Jangan jauh-jauh, masih ingatkan kita dengan “Deklarasi Ciganjur” atau kenyataan bahwa Megawati dan Prabowo pernah berpasangan pada pilpres 2009 untuk menghadapi SBY ? Ah tidak… Kita memang hanya memiliki ingatan yang pendek… 

Baru saja 20 tahun kurang kita mengalami masa yang bernama orde reformasi, dan kini orang-orang meraung-raung ingin mengembalikan orde baru. Tapi jangankan rakyat, bahkan sebagian penggerak reformasi itu kini menjadi pendukung kelompok neo orde baru karena reformasi ternyata dirasa kurang memberi keuntungan bagi mereka. Ada satu pengalaman lucu, suatu waktu aku pernah menghadiri reuni aktifis angkatan 66 dan menemukan dalam tempat tersebut terpampang banyak gambar Soekarno, selain diputar sedikit video dokumenter tertang perjuangan Soekarno. Aku tertawa dalam hati, bagaimana mungkin para aktifis yang dulunya ikut melengserkan Soekarno itu kini tiba-tiba memuja-muja Soekarno. Bangsa kita memang kadang-kadang aneh dan lucu. 

Dalam politik, yang abadi adalah kepentingan. Namun demikian, tidak selamanya pelaku politik mementingkan kepentingan pribadi atau golongan. Banyak dari mereka merupakan pejuang kepentingan rakyat dalam arti yang sebenarnya. Dalam melakukan hal itu tentu saja tidak ada yang benar-benar sempurna karena dalam politik semua keputusan memiliki konsekwensi positif dan negatif. Seringkali seorang tokoh harus mengorbankan popularitasnya untuk bisa memenuhi kepentingan yang lebih besar, lain orang mengorbankan kepentingan yang lebih besar demi popularitasnya. Pada akhirnya sejarah-lah yang akan menilainya, apakah seorang tokoh dicatat sebagai pahlawan atau seorang “avonturir politik” pencari kekuasaan belaka.

Satu nama yang mencuat akhir-akhir ini adalah Megawati Soekarnoputri. Menyebut namanya seakan-akan memberikan stigma buruk sehingga Presiden Indonesia terpilih, Jokowi  seringkali diejek sebagai boneka Megawati. Bagiku, stigma negatif tersebut bisa dimaklumi karena keberadaan penyakit lupa yang menyergap masyarakat Indonesia. Seperti yang kusebutkan sebelumnya, ejekan terhadap Megawati kebanyakan dikeluarkan oleh pendukung Prabowo, yang baru lima tahun sebelumnya bersedia berpasangan dengan Megawati dalam pilpres. Apabila Megawati sedemikian buruk adanya dan Prabowo sedemikian bersihnya, tidak mungkin kedua tokoh tersebut bisa bersatu lima tahun yang lalu. Tapi marilah kita bersihkan seluruh stigma tersebut dan mulai membuka kembali lembar-lembar sejarah yang terlupakan.

Lembar-lembar sejarah yang terlupakan itu terdapat pada sebuah buku berjudul “Peristiwa 27 Juli” yang disusun oleh Tim Aliansi Jurnalis Independen (Institut Studi Arus Informasi AJI – 1997). Buku ini dapat mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi kemunculan semangat reformasi. Suka tidak suka, Megawati merupakan tokoh utama dalam peristiwa ini.

Buku ini menunjukan keberanian penulisnya dalam mengungkapkan fakta-fakta yang “tabu” dalam penghujung masa Orde Baru, seakan-akan aku dibuat tidak percaya apabila buku ini benar-benar diterbitkan tahun 1997 ketika Soeharto masih berkuasa. Di dalamnya terdapat bagian-bagian yang berusaha menelusuri peristiwa 27 Juli seobjektif mungkin. Darinya sedikit banyak kita bisa memahami karakter politik yang masih berlangsung sampai sekarang.

Mengenai Peristiwa 27 Juli yang dimuat buku ini akan kusarikan sebagai berikut. Pertama-tama harus disadari apabila Demokrasi Pancasila “pura-pura” yang dilaksanakan penguasa orba selama tiga puluh tahun mulai mencapai titik nadirnya. Menurut Arbi Sanit dalam pengantarnya, Kelas menengah yang tidak puas atas perbaikan nasibnya mulai merasa gelisah dan menuntut keleluasaan politik dan ekonomi yang lebih besar. Seperti diketahui, Orba menempatkan kalangan Birokrat dan Militer sebagai kasta teratas dibanding kelompok masyarakat lainnya, sehingga ketimpangan pun terjadi. Berbagai peristiwa pendahuluan seperti Gerakan Golput, Protes kenaikan harga Minyak dan Pertamina (1971), Protes Taman Mini, Protes UU Perkawinan 1973 dan Peristiwa Malari 1974 membuat penguasa Orde Baru semakin bertindak represif guna mempertahankan ketertiban. Walaupun hal ini seringkali melanggar hak-hak dasar manusia dan hukum. Pemerintah begitu paranoid sehingga muncul larangan berkumpul lebih dari 5 orang. Keadaan seperti ini tampaknya sudah dilupakan oleh mereka yang berkoar-koar ingin kembali ke Orde Baru.

Apabila dirunut, rangkaian peristiwa 27 Juli 1996 telah dimulai sejak pelaksanaan kongres “Medan” yang dibiayai dan langsung difasilitasi Pemerintah/ABRI. Kongres tersebut melengserkan Megawati dan mendaulat Soerjadi sebagai Ketua Umum PDIP. Mengapa pemerintah mengintervensi Partai Berlambang Kepala Banteng tersebut, ternyata karena Soeharto khawatir Megawati akan maju sebagai calon Presiden dalam sidang MPR tahun 1998. Walaupun tahu bahwa peluang kemenangan PDI atau majunya Megawati sebagai capres tersebut sangat kecil, hal ini sangat menakutkan Soeharto sehingga ia merasa perlu melakukan tindakan pencegahan.

Tindakan pencegahan yang dilakukan Soeharto dengan mendudukan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI tersebut ternyata mendapat perlawanan keras dari pendukung Megawati di berbagai daerah. Kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro 58 Jakarta menjadi pusat pergerakan dan dikuasai oleh pendukung Megawati. Sehari sebelum kongres Medan, Pada tanggal 20 Juni,  sekitar 10 ribu banteng PDI turun ke jalan dari Kantor PDI ke lapangan Monas. Kericuhan tak terhindari terjadi di depan stasiun Gambir antara simpatisan dan aparat, mengakibatkan banyak korban. Setelah insiden itu Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso membuat kesepakatan dengan Megawati yang intinya memperbolehkan pendukung Mega melakukan aktifitas di halaman kantor PDI. Kesempatan itu digunakan pengurus PDI untuk menggelar mimbar Demokrasi. Dalam mimbar itu simpatisan PDI diperbolehkan pidato dan menyampaikan pikirannya.

Setelah tiga minggu berlangsung, pemerintah mulai gerah atas keberadaan mimbar tersebut. Menjelang akhir Juli itu direncanakan Iwan Fals akan ikut manggung di mimbar demokrasi, juga Gus Dur akan memimpin acara peringatan Maulud Nabi di sana. Hal ini semakin memanaskan penguasa Orde Baru untuk mengambil tindakan. 

Pagi itu pada tanggal 27 Juli sekitar pukul 06.15 ratusan massa berambut cepak dan bertubuh tegap yang memakai kaos merah bertuliskan Pendukung Kongres VI Medan dengan ikat kepala merah tiba di depan markas PDI. Mereka diangkut sembilan truk warna kuning. Satgas PDI pada mulanya menduga mereka sebagai kawan, tapi segera ketahuan ternyata rombongan yang membawa tongkat kayu ukuran satu meter itu mendukung Soerjadi. Menurut saksi mata, mereka langsung melempari batu ke arah kantor PDI dan mencaci maki Megawati.

Massa pendukung Megawati yang berada di luar pagar kaget mendapat serangan mendadak. Sebagian berlarian sedangkan sebagian di dalam pagar melakukan perlawanan ala kadarnya. Setelah 10 menit terjadi perang batu dan caci maki, datang serombongan pasukan anti huru-hara yang anehnya bukannya melerai, malah memblokir jalan Diponegoro dan perempatan jalan Surabaya dan Pegangsaan, serta di bawah jembatan layang Cikini.

Praktis massa pendukung Soerjadi berada di atas angin. Kepolisian menyuruh massa Mega untuk mengosongkan gedung namun ditolak. Mereka hanya mau keluar apabila diperintahkan oleh Megawati langsung. Selang sejam kemudian, sekitar pukul 08.30 terjadi serangan gelombang kedua yang dilakukan massa pro-Soerjadi didukung pasukan huru-hara. Perkelahian tak terelakkan. Baku pukul yang tak imbang itu berlangsung singkat. Korban pendukung Megawati pun berjatuhan dibawa keluar gedung oleh aparat.

Kabar penyerangan gedung PDI itu segera menyebar ke seantero Jakarta. Siang harinya sekitar pukul 11.00 massa mulai merangsek mendekati markas PDI. Aparat mengayunkan tongkat rotan untuk menghalau,
“Pukul saya pak! Pukul saya kalau berani. Saya siap mati membela Megawati dan PDI!” teriak seorang Demonstran sambil membuka bajunya di depan tentara yang menjaga gedung.
Massa akhirnya berhasil menembus blokade di depan Megaria dan depan stasiun Cikini. Setelah pertahanan pertama aparat jebol, massa menggelar mimbar bebas di depan blokadi lapis kedua aparat, di bawa jembatan layang. Mereka sesekali menyanyikan lagu perjuangan seperti Maju tak Gentar. Dibacakan juga “Sumpah Rakyat” :
“Satu, kami rakyat Indonesia, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Dua, kami rakyat Indonesia, berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan. Tiga, kami rakyat Indonesia, berbahasa satu, bahasa kebenaran.”

Semakin sore massa semakin banyak diiringi oleh penambahan personil aparat. Usaha massa untuk merangsek masuk kawasan kantor PDI dibubarkan oleh aparat bersenjata. Massa dibuat kalang kabut, sedangkan aparat keamanan akhirnya bisa membubarkan massa. Puluhan korban tampak tergeletak akibat kebrutalan aparat dalam usahanya membubarkan konsentrasi massa.

Melihat keadaan tersebut emosi massa semakin terpancing, mereka memecahkan diri menjadi dua bagian, sebagian ke arah Senen dan ke arah Jl. Pramuka. Massa yang bergerak ke Pramuka membakar gedung Departemen Pertanian, Bank Swansarindo International, Bank Mayapada, Bank Kesawan, Wisma Honda, dan Gedung Toyota Auto 2000. Massa baru bubar setelah kedatangan panser-panser aparat keamanan. Walau demikian sebagian massa tetap bergerak ke arah Tugu Proklamasi, sekitar pukul 18.30 membakar sederet pertokoan yang terdiri dari toko alat musik, mini market Circle K, toko kain termasuk mobil yang terjebak di tengah massa. Aksi pembakaran di lokasi sangat dramatis karena barang yang ada di dalam toko dikeluarkan, ditimbun di tengah jalan, lantas dibakar. Beberapa pencopet yang berniat mencuri barang justru dihajar. Aksi ini terus berlangsung hingga pukul 01.00 keesokan harinya. Singkat cerita suasana di Jakarta saat itu sangat tegang. Toko-toko tutup, siswa-siswa ditahan di Sekolah agar tidak dulu pulang, tempat hiburan pun ditutup lebih cepat.  Aparat keamanan menggunakan truk-truk militer mengangkut ribuan warga Jakarta yang tak dapat pulang karena tidak adanya angkutan umum. Situasi mencekam ini berlangsung selama beberapa hari lamanya.

Akibat dari keadaan ini, dunia usaha mulai meragukan stabilitas politik Indonesia. Saham berguguran, nilai tukar rupiah ikut tertekan.

Komnas HAM yang melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap peristiwa 27 Juli 1996 menyimpulkan bahwa telah terjadi perebutan paksa kantor PDI dan kerusuhan sosial pada hari itu. Kedua peristiwa itu mengakibatkan lima orang meninggal dunia, 149 orang luka-luka, 23 orang hilang, dan 136 ditahan. Disampaikan juga bahwa dalam peristiwa tersebut telah terjadi berbagai pelanggaran HAM baik oleh kedua pihak. 

Mengenai pemicu Peristiwa 27 Juli ini terdapat beberapa versi. Sebagian besar masyarakat dan peneliti menganggap tindakan pemerintah sebagai pemicu utamanya. Mochtar Pabotinggi (Peneliti LIPI) menyebutkan bahwa :
Peristiwa 27 Juli itu tak lain disebabkan karena masyarakat sudah sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar kebobrokan, ketidakadilan, dan kesenjangan di bidang ekonomi, dan politik selama ini erat kaitannya dengan format politik Orde Baru… Dengan langkah-langkah pemerintah terhadap PDI Megawati, sentimen politik yang menampilkan citra Soekarno, yang menjangkau jauh hingga rakyat terbawah, justru kembali dihidupkan. Residu sejarah yang terpendam selama ini kembali bangkit.
Pemerintah sudah tentu tidak mengakui peranannya dalam peristiwa tersebut. Dan seperti biasa pemerintah Orde Baru langsung menunjuk Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang berbau “komunis” sebagai penunggang kerusuhan itu. Padahal Komnas HAM sudah menyatakan tidak ada keterlibatan PRD yang dideklarasikan tanggal 22 Juli 1996 dalam peristiwa tersebut.
Pernyataan pemerintah itu langsung mengangkat nama Budiman Sudjatmiko sebagai aktifis penggerak PRD. Pemerintah dan ABRI memvonis PRD sebagai organisasi berhaluan komunis, namun pernyataan tersebut tidak disertai bukti sama sekali. Tokoh-tokoh PRD seperti Budiman Sudjatmiko, Wiji Tukul, Andi Arief, Ditasari, dkk. langsung menjadi buruan pemerintah.
ABRI dan pemerintah terus menyebarkan opini bahwa PRD berhaluan komunis. Kasosspol ABRI, Letjen Syarwan Hamid, beberapa kali mengatakan bahwa sebagian besar anggota PRD adalah anak-anak eks-PKI. Syarwan bahkan menyebut nama ayah Budiman Sudjatmiko, Ketua PRD, yang bernama Sudjatmiko sebagai eks-tapol PKI golongan B-2. Padahal ayah Budiman bernama Haji Wartono Karyo Utomo adalah seorang pemeluk Islam yang taat dan tak pernah terlibat PKI. Ayah Wartono, kakek Budiman, aalah anggota Hizbullah (Partai Allah) di jaman penjajahan.

Penyerbuan kantor PDI yang berakibat kerusuhan tidak berakhir sampai di sana. Pemerintah Orde Baru yang zalim ternyata mengadili 124 orang pendukung Megawati yang dituduh sebagai biang kerusuhan. Untuk menguatkan mental para pendukungnya, Megawati melakukan safari mengunjungi rumah tahanan Salemba dan Pondok Bambu.
“Jangan rendah diri, jangan kecil hati dan minder. Tunjukkan bahwa kebenaran dan keadilan tidak pernah sirna.  Ucapkan hati nurani dengan suara lantang agar semua orang mendengar” kata Mega, di depan warga PDI pendukungnya yang menjadi terdakwa ‘Peristiwa 27 Juli’ dan ‘Peristiwa Gambir 20 Juni’
Aroma keanehan memang terjadi karena jelas-jelas kantor PDI yang diserbu namun hanya massa pro-Mega yang dikenai tuduhan.  Dalam proses pengadilan pendukungnya tersebut, Megawati tampak setia menemani mereka dalam persidangan, bahkan bersedia menjadi saksi yang meringankan. Keputusan sidang “pura-pura” itu sudah bisa ditebak, 115 terdakwa dijatuhi hukuman empat bulan tiga hari. Vonis hakim tampak sengaja dipaskan dengan masa tahanan mereka selama ini. Mega pun tampak emosi.
“Keputusan ini tidak adil, sebab banyak kenyataan yang diputarbalikkan. Misalnya warga PDI yang bertahan di markas DPP PDI itu tidak tahu ada perintah keluar gedung, tapi tetap ditahan,” kata Mega.
Malam harinya Mega menjamu para terdakwa yang telah dibebaskan di kediamannya di jalan Kebagusan, Jakarta Selatan. Setelah itu selama beberapa bulan ke depannya, Megawati terus melakukan perjuangan untuk mengembalikan posisinya sebagai ketua PDI. Ia terus melakukan gugatan-gugatan yang akan sia-sia melihat dari keadaan rezim saat itu. 

Sedikit cuplikan kisah di atas menggambarkan situasi kerapuhan Orde Baru. Ternyata seluruh ilusi kestabilan ekonomi dan politik yang digaung-gaungkan pemerintah Orde Baru didirikan di atas pondasi yang lemah. Ketidakadilan di manapun pasti akan mengakibatkan perlawanan, cepat atau lambat. Menurutku tidak ada dosa paling besar yang diciptakan Orde Baru selain ketidakadilan. Ketika yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Oleh karena itu absurd rasanya saat ini ketika mendengar orang-orang meneriakan kejayaan orde baru. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang kehilangan upah akibat terjadinya perbaikan hukum dan demokrasi. Mereka hanya sedikit, namun menjadi kanker yang sangat berbahaya.

Peristiwa 27 Juli tidak bisa dilepaskan dari peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Peristiwa ini mengangkat tokoh Megawati sebagai orang yang “dizalimi” Orba sebagai tokoh utama dalam proses reformasi. Partai Banteng Merah yang tadinya hanya sekelas partai gurem menjelma menjadi salah satu partai terbesar berkat ketokohan Megawati. Suka tidak suka, Megawati adalah salah satu orang yang masih konsisten memperjuangkan cita-cita reformasi hingga saat ini. Pemerintahannya memang tidak lepas dari cacat, namun keteguhannya pada perjuangan tidak bisa dipungkiri. Ia berbeda dengan tokoh-tokoh seperti Amien Rais yang dulunya disebut sebagai bapak reformasi namun kini hanya penggembira dalam politik. Tokoh lainnya yang tetap konsisten adalah Budiman Sudjatmiko yang kini bergabung dengan PDIP besutan Megawati. Sejak jaman PRD dulu, ia telah menyatakan sikapnya sebagai pendukung Megawati. Berbeda dengan misalnya tokoh PRD yang lain seperti Andi Arief yang kini sibuk berada di bawah bayang-bayang SBY dan mengurusi Gunung Padang.

Penulis sejarah bisa berbohong tapi tidak dengan kenyataan sejarah. Reformasi yang kita nikmati sekarang ini merupakan buah dari perlawanan banyak jiwa terhadap rezim orde baru. Buah dari doa mereka-mereka yang dizalimi kebijakan orde baru. Buah dari patahnya tulang belulang, cucuran darah, dan hilangnya nyawa. Oleh karena itu, terkutuklah mereka yang ingin mengembalikan orde baru…


Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

1 comments:

AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)

Terima Kasih