Rupiah Makin Terpuruk Dan Masuk Fase Darurat

Pergerakan rupiah sepanjang pekan ini masih berfluktuasi dan cenderung terus melemah. Pada awal perdagangan hari Jumat (21/8/2015), rupiah nyaris menyentuh level psikologis 14.000 per dolar AS (USD). Data yang diambil dari situs resmi Bank Indonesia menunjukkan rupiah berada di posisi 13.895 per USD, melemah 57 poin atau turun 0,41 persen dari penutupan kemarin di posisi 13.838.
Sentimen eksternal dan internal diprediksi masih akan memengaruhi posisi tukar rupiah. Ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta mengatakan dalam rilis yang ditulis Bisnis.com, penurunan indeks dolar AS berhadapan dengan pengaruh penurunan harga minyak di pasar global.

"Namun, pelemahan indeks dolar AS yang dipicu menurunnya harapan kenaikan suku bunga AS berpeluang mencegah pelemahan yang terlalu dalam," kata Rangga, Jumat (21/8/2015).
Indeks dolar AS turun bersamaan dengan penurunan imbal hasil obligasi AS serta indeks saham AS. Angka pengangguran (jobless claims) yang naik berhasil menekan harapan kenaikan suku bunga AS yang beberapa hari lalu sempat naik menyusul rilis notulensi pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC).

Sentimen eksternal yang mempengaruhi rupiah juga datang dari negara tetangga, seperti pemerintahan Malaysia dan peristiwa pemboman yang terjadi di Thailand.
Begitu juga dengan Vietnam. Negara tersebut mengikut langkah Tiongkok yang melemahkan mata uangnya. "Vietnam melemahkan mata uang Dong menambah tekanan terhadap rupiah," kata analis pasar uang PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova, kepada Liputan6.com.

Kondisi rupiah yang demikian dikhawatirkan dapat menurunkan tingkat kepercayaan pasar.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual menilai, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS juga tak terlepas dari sentimen kisruh pemerintahan yang belakangan terjadi di dalam negeri.
"Sekarang yang diperlukan kerja dan tenang," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Jumat (21/8/2015).
Dia mengatakan, kondisi rupiah saat ini telah masuk fase darurat atau lampu kuning. Maka, pemerintah seharusnya cepat berbenah diri.
David mengatakan, pergerakan rupiah saat ini cenderung volatile (mudah berubah). Kalau pun menguat, David menuturkan, hanya secara teknikal karena telah tergerus cukup dalam.

JISDOR (JAKARTA INTERBANK SPOT DOLLAR RATE ) dalam sepekan:

21 August 2015 Rp 13,895.00
20 August 2015 Rp 13,838.00
19 August 2015 Rp 13,824.00
18 August 2015 Rp 13,831.00
14 August 2015 Rp 13,763.00

Berdampak ke impor 

Penjual mobil-mobil impor alias completely built up (CBU) yang biasa disebut sebagai Importir Umum sangat bergantung pada fluktuasi nilai tukar rupiah. Ketika kondisi dollar Amerika Serikat (AS) melemah nyaris menyentuh Rp14.000 seperti saat ini, mereka tersudut.
Salah satunya, adalah Alvin Motor, IU yang mengaku mengalami langsung dampak pelemahan rupiah.

"Kalau mau naik ya naik saja, kalau memang ingin turun ya sebaiknya konsisten turun, dan dalam jangka waktu yang tidak cepat. Sehingga konsumen tidak dibingungkan dengan harga yang selalu berubah," ujar Alvin kepada wartawan Tribunnews di IIMS, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Alvin menambahkan, kondisi ini menyulitkan hampir untuk semua pedagang mobil premium di Indonesia. Pasalnya kendaraan yang di jual di Indonesia dibeli dengan dolar AS dan dijual kembali di sini meggunakan rupiah.

"Barang-barang ini kita jual dengan mata uang indonesia, tapi kita beli dengan dollar AS. Jadi jika nilai tukar tidak jelas, makan imbasnya akan sangat kita rasakan," ujar Alvin.
Begitu juga dengan industri garmen.

Pengusaha konveksi di Kecamatan Kemiri Adit mengatakan kepada KRJogja.com, bahan baku yang naik antara lain benang dan kain kerah baju. "Keduanya diimpor dari China, tentu sangat berkaitan dengan nilai tukar," katanya, Rabu (19/08/2015).

Harga rata-rata naik 10 - 15 persen. Adit mencontohkan, ketika kurs dolar Rp13.000, harga benang jahit naik dari Rp8.500 menjadi Rp9.000 per rol, sedangkan kain kerah Rp140.000 menjadi Rp165.000 pergulung.

Menurutnya, komposisi bahan impor dan lokal dalam usaha konveksi masing-masing 50 persen. "Jadi usaha kami amat sangat tergantung barang impor, sekali dihantam gejolak nilai tukar, saat itu juga kami was-was dan berpikir siap-siap meliburkan usaha," terangnya.

Tweet