Bagi seorang pembaca sejarah pasti sudah
mahfum akan kebenaran ungkapan “tidak ada lawan dan kawan abadi dalam
politik, yang abadi hanyalah kepentingan.” Kalimat tersebut berlaku
untuk setiap waktu dan setiap jaman, tidak hanya sekarang dan masa lalu,
melainkan untuk selamanya hingga akhir zaman nanti. Bagi mereka yang
membaca sejarah tentunya tidak akan kaget atau aneh melihat akrobat
politik akhir-akhir ini. Melihat bagaimana orang-orang yang dahulunya
bahu membahu kini saling menikam. Orang yang dahulunya saling
bergandengan tangan kini saling menyikut.
“Jangan rendah diri, jangan kecil hati dan minder. Tunjukkan bahwa
kebenaran dan keadilan tidak pernah sirna. Ucapkan hati nurani dengan
suara lantang agar semua orang mendengar” kata Mega, di depan warga PDI
pendukungnya yang menjadi terdakwa ‘Peristiwa 27 Juli’ dan ‘Peristiwa
Gambir 20 Juni’...
Siapapun yang tidak mengingat sejarah,
akan dikutuk untuk mengalaminya kembali. Douwwes Dekker (Danudirja
Setiabudhi) pernah mengatakan bahwa sejarah harus dilihat sebagai satu
proses upaya manusia untuk mencapai kesempurnaan. Di dalamnya penuh
dengan tumpahan darah, intrik, dan kehancuran. Namun semua itu merupakan
jalan terjal untuk mencapai puncak cita-cita kesempurnaan. Nah, bagi
siapapun yang tidak mau mempelajari sejarah, mereka hanya akan terus
mengulangi proses berdarah-darah tanpa pernah mencapai kesempurnaan.
Oleh karena itu mari kita mengingat sejarah apabila tidak mau mengalami
kemalangan yang pernah dialami orang-orang sebelum kita.
Bangsa kita adalah bangsa yang besar,
tapi sangat lemah ingatannya. Apabila melihat intrik politik yang
terjadi saat ini, ketika (aku menyebutnya) kubu Orde Lama melawan Orde
Baru, kita sejenak melupakan peristiwa yang baru berlangsung sekitar
belasan tahun dari sekarang. Suatu massa yang disebut dengan kemunculan
“Orde Reformasi”. Ketika orang-orang yang bertikan di panggung politik
saat ini memiliki musuh bersama yang bernama Orde Baru. Jangan
jauh-jauh, masih ingatkan kita dengan “Deklarasi Ciganjur” atau
kenyataan bahwa Megawati dan Prabowo pernah berpasangan pada pilpres
2009 untuk menghadapi SBY ? Ah tidak… Kita memang hanya memiliki ingatan
yang pendek…
Baru saja 20 tahun kurang kita mengalami masa yang bernama orde
reformasi, dan kini orang-orang meraung-raung ingin mengembalikan orde
baru. Tapi jangankan rakyat, bahkan sebagian penggerak reformasi itu
kini menjadi pendukung kelompok neo orde baru karena reformasi ternyata
dirasa kurang memberi keuntungan bagi mereka. Ada satu pengalaman lucu,
suatu waktu aku pernah menghadiri reuni aktifis angkatan 66 dan
menemukan dalam tempat tersebut terpampang banyak gambar Soekarno,
selain diputar sedikit video dokumenter tertang perjuangan Soekarno. Aku
tertawa dalam hati, bagaimana mungkin para aktifis yang dulunya ikut
melengserkan Soekarno itu kini tiba-tiba memuja-muja Soekarno. Bangsa
kita memang kadang-kadang aneh dan lucu.
Dalam politik, yang abadi adalah
kepentingan. Namun demikian, tidak selamanya pelaku politik mementingkan
kepentingan pribadi atau golongan. Banyak dari mereka merupakan pejuang
kepentingan rakyat dalam arti yang sebenarnya. Dalam melakukan hal itu
tentu saja tidak ada yang benar-benar sempurna karena dalam politik
semua keputusan memiliki konsekwensi positif dan negatif. Seringkali
seorang tokoh harus mengorbankan popularitasnya untuk bisa memenuhi
kepentingan yang lebih besar, lain orang mengorbankan kepentingan yang
lebih besar demi popularitasnya. Pada akhirnya sejarah-lah yang akan
menilainya, apakah seorang tokoh dicatat sebagai pahlawan atau seorang
“avonturir politik” pencari kekuasaan belaka.
Satu nama yang mencuat akhir-akhir ini
adalah Megawati Soekarnoputri. Menyebut namanya seakan-akan memberikan
stigma buruk sehingga Presiden Indonesia terpilih, Jokowi seringkali
diejek sebagai boneka Megawati. Bagiku, stigma negatif tersebut bisa
dimaklumi karena keberadaan penyakit lupa yang menyergap masyarakat
Indonesia. Seperti yang kusebutkan sebelumnya, ejekan terhadap Megawati
kebanyakan dikeluarkan oleh pendukung Prabowo, yang baru lima tahun
sebelumnya bersedia berpasangan dengan Megawati dalam pilpres. Apabila
Megawati sedemikian buruk adanya dan Prabowo sedemikian bersihnya, tidak
mungkin kedua tokoh tersebut bisa bersatu lima tahun yang lalu. Tapi
marilah kita bersihkan seluruh stigma tersebut dan mulai membuka kembali
lembar-lembar sejarah yang terlupakan.
Lembar-lembar sejarah yang terlupakan itu terdapat pada sebuah buku berjudul “Peristiwa 27 Juli”
yang disusun oleh Tim Aliansi Jurnalis Independen (Institut Studi Arus
Informasi AJI – 1997). Buku ini dapat mengingatkan kembali
peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi kemunculan semangat reformasi.
Suka tidak suka, Megawati merupakan tokoh utama dalam peristiwa ini.
Buku ini menunjukan keberanian penulisnya
dalam mengungkapkan fakta-fakta yang “tabu” dalam penghujung masa Orde
Baru, seakan-akan aku dibuat tidak percaya apabila buku ini benar-benar
diterbitkan tahun 1997 ketika Soeharto masih berkuasa. Di dalamnya
terdapat bagian-bagian yang berusaha menelusuri peristiwa 27 Juli
seobjektif mungkin. Darinya sedikit banyak kita bisa memahami karakter
politik yang masih berlangsung sampai sekarang.
Mengenai Peristiwa 27 Juli yang dimuat
buku ini akan kusarikan sebagai berikut. Pertama-tama harus disadari
apabila Demokrasi Pancasila “pura-pura” yang dilaksanakan penguasa orba
selama tiga puluh tahun mulai mencapai titik nadirnya. Menurut Arbi
Sanit dalam pengantarnya, Kelas menengah yang tidak puas atas perbaikan
nasibnya mulai merasa gelisah dan menuntut keleluasaan politik dan
ekonomi yang lebih besar. Seperti diketahui, Orba menempatkan kalangan
Birokrat dan Militer sebagai kasta teratas dibanding kelompok masyarakat
lainnya, sehingga ketimpangan pun terjadi. Berbagai peristiwa
pendahuluan seperti Gerakan Golput, Protes kenaikan harga Minyak dan
Pertamina (1971), Protes Taman Mini, Protes UU Perkawinan 1973 dan
Peristiwa Malari 1974 membuat penguasa Orde Baru semakin bertindak
represif guna mempertahankan ketertiban. Walaupun hal ini seringkali
melanggar hak-hak dasar manusia dan hukum. Pemerintah begitu paranoid
sehingga muncul larangan berkumpul lebih dari 5 orang. Keadaan seperti
ini tampaknya sudah dilupakan oleh mereka yang berkoar-koar ingin
kembali ke Orde Baru.
Apabila dirunut, rangkaian peristiwa 27
Juli 1996 telah dimulai sejak pelaksanaan kongres “Medan” yang dibiayai
dan langsung difasilitasi Pemerintah/ABRI. Kongres tersebut melengserkan
Megawati dan mendaulat Soerjadi sebagai Ketua Umum PDIP. Mengapa
pemerintah mengintervensi Partai Berlambang Kepala Banteng tersebut,
ternyata karena Soeharto khawatir Megawati akan maju sebagai calon
Presiden dalam sidang MPR tahun 1998. Walaupun tahu bahwa peluang
kemenangan PDI atau majunya Megawati sebagai capres tersebut sangat
kecil, hal ini sangat menakutkan Soeharto sehingga ia merasa perlu
melakukan tindakan pencegahan.
Tindakan pencegahan yang dilakukan
Soeharto dengan mendudukan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI tersebut
ternyata mendapat perlawanan keras dari pendukung Megawati di berbagai
daerah. Kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro 58 Jakarta menjadi pusat
pergerakan dan dikuasai oleh pendukung Megawati. Sehari sebelum kongres
Medan, Pada tanggal 20 Juni, sekitar 10 ribu banteng PDI turun ke jalan
dari Kantor PDI ke lapangan Monas. Kericuhan tak terhindari terjadi di
depan stasiun Gambir antara simpatisan dan aparat, mengakibatkan banyak
korban. Setelah insiden itu Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso membuat
kesepakatan dengan Megawati yang intinya memperbolehkan pendukung Mega
melakukan aktifitas di halaman kantor PDI. Kesempatan itu digunakan
pengurus PDI untuk menggelar mimbar Demokrasi. Dalam mimbar itu
simpatisan PDI diperbolehkan pidato dan menyampaikan pikirannya.
Setelah tiga minggu berlangsung,
pemerintah mulai gerah atas keberadaan mimbar tersebut. Menjelang akhir
Juli itu direncanakan Iwan Fals akan ikut manggung di mimbar demokrasi,
juga Gus Dur akan memimpin acara peringatan Maulud Nabi di sana. Hal ini
semakin memanaskan penguasa Orde Baru untuk mengambil tindakan.
Pagi itu pada tanggal 27 Juli sekitar
pukul 06.15 ratusan massa berambut cepak dan bertubuh tegap yang memakai
kaos merah bertuliskan Pendukung Kongres VI Medan dengan ikat kepala
merah tiba di depan markas PDI. Mereka diangkut sembilan truk warna
kuning. Satgas PDI pada mulanya menduga mereka sebagai kawan, tapi
segera ketahuan ternyata rombongan yang membawa tongkat kayu ukuran satu
meter itu mendukung Soerjadi. Menurut saksi mata, mereka langsung
melempari batu ke arah kantor PDI dan mencaci maki Megawati.
Massa pendukung Megawati yang berada di
luar pagar kaget mendapat serangan mendadak. Sebagian berlarian
sedangkan sebagian di dalam pagar melakukan perlawanan ala kadarnya.
Setelah 10 menit terjadi perang batu dan caci maki, datang serombongan
pasukan anti huru-hara yang anehnya bukannya melerai, malah memblokir
jalan Diponegoro dan perempatan jalan Surabaya dan Pegangsaan, serta di
bawah jembatan layang Cikini.
Praktis massa pendukung Soerjadi berada
di atas angin. Kepolisian menyuruh massa Mega untuk mengosongkan gedung
namun ditolak. Mereka hanya mau keluar apabila diperintahkan oleh
Megawati langsung. Selang sejam kemudian, sekitar pukul 08.30 terjadi
serangan gelombang kedua yang dilakukan massa pro-Soerjadi didukung
pasukan huru-hara. Perkelahian tak terelakkan. Baku pukul yang tak
imbang itu berlangsung singkat. Korban pendukung Megawati pun berjatuhan
dibawa keluar gedung oleh aparat.
Kabar penyerangan gedung PDI itu segera
menyebar ke seantero Jakarta. Siang harinya sekitar pukul 11.00 massa
mulai merangsek mendekati markas PDI. Aparat mengayunkan tongkat rotan
untuk menghalau,
“Pukul saya pak! Pukul saya kalau berani. Saya siap mati membela Megawati dan PDI!” teriak seorang Demonstran sambil membuka bajunya di depan tentara yang menjaga gedung.
Massa akhirnya berhasil menembus blokade
di depan Megaria dan depan stasiun Cikini. Setelah pertahanan pertama
aparat jebol, massa menggelar mimbar bebas di depan blokadi lapis kedua
aparat, di bawa jembatan layang. Mereka sesekali menyanyikan lagu
perjuangan seperti Maju tak Gentar. Dibacakan juga “Sumpah Rakyat” :
“Satu, kami rakyat Indonesia, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Dua, kami rakyat Indonesia, berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan. Tiga, kami rakyat Indonesia, berbahasa satu, bahasa kebenaran.”
Semakin sore massa semakin banyak
diiringi oleh penambahan personil aparat. Usaha massa untuk merangsek
masuk kawasan kantor PDI dibubarkan oleh aparat bersenjata. Massa dibuat
kalang kabut, sedangkan aparat keamanan akhirnya bisa membubarkan
massa. Puluhan korban tampak tergeletak akibat kebrutalan aparat dalam
usahanya membubarkan konsentrasi massa.
Melihat keadaan tersebut emosi massa
semakin terpancing, mereka memecahkan diri menjadi dua bagian, sebagian
ke arah Senen dan ke arah Jl. Pramuka. Massa yang bergerak ke Pramuka
membakar gedung Departemen Pertanian, Bank Swansarindo International,
Bank Mayapada, Bank Kesawan, Wisma Honda, dan Gedung Toyota Auto 2000.
Massa baru bubar setelah kedatangan panser-panser aparat keamanan. Walau
demikian sebagian massa tetap bergerak ke arah Tugu Proklamasi, sekitar
pukul 18.30 membakar sederet pertokoan yang terdiri dari toko alat
musik, mini market Circle K, toko kain termasuk mobil yang terjebak di
tengah massa. Aksi pembakaran di lokasi sangat dramatis karena barang
yang ada di dalam toko dikeluarkan, ditimbun di tengah jalan, lantas
dibakar. Beberapa pencopet yang berniat mencuri barang justru dihajar.
Aksi ini terus berlangsung hingga pukul 01.00 keesokan harinya. Singkat
cerita suasana di Jakarta saat itu sangat tegang. Toko-toko tutup,
siswa-siswa ditahan di Sekolah agar tidak dulu pulang, tempat hiburan
pun ditutup lebih cepat. Aparat keamanan menggunakan truk-truk militer
mengangkut ribuan warga Jakarta yang tak dapat pulang karena tidak
adanya angkutan umum. Situasi mencekam ini berlangsung selama beberapa
hari lamanya.
Akibat dari keadaan ini, dunia usaha
mulai meragukan stabilitas politik Indonesia. Saham berguguran, nilai
tukar rupiah ikut tertekan.
Komnas HAM yang melakukan pemantauan dan
penyelidikan terhadap peristiwa 27 Juli 1996 menyimpulkan bahwa telah
terjadi perebutan paksa kantor PDI dan kerusuhan sosial pada hari itu.
Kedua peristiwa itu mengakibatkan lima orang meninggal dunia, 149 orang
luka-luka, 23 orang hilang, dan 136 ditahan. Disampaikan juga bahwa
dalam peristiwa tersebut telah terjadi berbagai pelanggaran HAM baik
oleh kedua pihak.
Mengenai pemicu Peristiwa 27 Juli ini
terdapat beberapa versi. Sebagian besar masyarakat dan peneliti
menganggap tindakan pemerintah sebagai pemicu utamanya. Mochtar
Pabotinggi (Peneliti LIPI) menyebutkan bahwa :
Peristiwa 27 Juli itu tak lain disebabkan karena masyarakat sudah sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar kebobrokan, ketidakadilan, dan kesenjangan di bidang ekonomi, dan politik selama ini erat kaitannya dengan format politik Orde Baru… Dengan langkah-langkah pemerintah terhadap PDI Megawati, sentimen politik yang menampilkan citra Soekarno, yang menjangkau jauh hingga rakyat terbawah, justru kembali dihidupkan. Residu sejarah yang terpendam selama ini kembali bangkit.
Pemerintah sudah tentu tidak mengakui
peranannya dalam peristiwa tersebut. Dan seperti biasa pemerintah Orde
Baru langsung menunjuk Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang berbau
“komunis” sebagai penunggang kerusuhan itu. Padahal Komnas HAM sudah
menyatakan tidak ada keterlibatan PRD yang dideklarasikan tanggal 22
Juli 1996 dalam peristiwa tersebut.
Pernyataan pemerintah itu langsung
mengangkat nama Budiman Sudjatmiko sebagai aktifis penggerak PRD.
Pemerintah dan ABRI memvonis PRD sebagai organisasi berhaluan komunis,
namun pernyataan tersebut tidak disertai bukti sama sekali. Tokoh-tokoh
PRD seperti Budiman Sudjatmiko, Wiji Tukul, Andi Arief, Ditasari, dkk.
langsung menjadi buruan pemerintah.
ABRI dan pemerintah terus menyebarkan opini bahwa PRD berhaluan komunis. Kasosspol ABRI, Letjen Syarwan Hamid, beberapa kali mengatakan bahwa sebagian besar anggota PRD adalah anak-anak eks-PKI. Syarwan bahkan menyebut nama ayah Budiman Sudjatmiko, Ketua PRD, yang bernama Sudjatmiko sebagai eks-tapol PKI golongan B-2. Padahal ayah Budiman bernama Haji Wartono Karyo Utomo adalah seorang pemeluk Islam yang taat dan tak pernah terlibat PKI. Ayah Wartono, kakek Budiman, aalah anggota Hizbullah (Partai Allah) di jaman penjajahan.
Penyerbuan kantor PDI yang berakibat
kerusuhan tidak berakhir sampai di sana. Pemerintah Orde Baru yang zalim
ternyata mengadili 124 orang pendukung Megawati yang dituduh sebagai
biang kerusuhan. Untuk menguatkan mental para pendukungnya, Megawati
melakukan safari mengunjungi rumah tahanan Salemba dan Pondok Bambu.
“Jangan rendah diri, jangan kecil hati dan minder. Tunjukkan bahwa kebenaran dan keadilan tidak pernah sirna. Ucapkan hati nurani dengan suara lantang agar semua orang mendengar” kata Mega, di depan warga PDI pendukungnya yang menjadi terdakwa ‘Peristiwa 27 Juli’ dan ‘Peristiwa Gambir 20 Juni’
Aroma keanehan memang terjadi karena
jelas-jelas kantor PDI yang diserbu namun hanya massa pro-Mega yang
dikenai tuduhan. Dalam proses pengadilan pendukungnya tersebut,
Megawati tampak setia menemani mereka dalam persidangan, bahkan bersedia
menjadi saksi yang meringankan. Keputusan sidang “pura-pura” itu sudah
bisa ditebak, 115 terdakwa dijatuhi hukuman empat bulan tiga hari. Vonis
hakim tampak sengaja dipaskan dengan masa tahanan mereka selama ini.
Mega pun tampak emosi.
“Keputusan ini tidak adil, sebab banyak kenyataan yang diputarbalikkan. Misalnya warga PDI yang bertahan di markas DPP PDI itu tidak tahu ada perintah keluar gedung, tapi tetap ditahan,” kata Mega.
Malam harinya Mega menjamu para terdakwa
yang telah dibebaskan di kediamannya di jalan Kebagusan, Jakarta
Selatan. Setelah itu selama beberapa bulan ke depannya, Megawati terus
melakukan perjuangan untuk mengembalikan posisinya sebagai ketua PDI. Ia
terus melakukan gugatan-gugatan yang akan sia-sia melihat dari keadaan
rezim saat itu.
Sedikit cuplikan kisah di atas
menggambarkan situasi kerapuhan Orde Baru. Ternyata seluruh ilusi
kestabilan ekonomi dan politik yang digaung-gaungkan pemerintah Orde
Baru didirikan di atas pondasi yang lemah. Ketidakadilan di manapun
pasti akan mengakibatkan perlawanan, cepat atau lambat. Menurutku tidak
ada dosa paling besar yang diciptakan Orde Baru selain ketidakadilan.
Ketika yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Oleh karena itu absurd rasanya saat ini ketika mendengar orang-orang
meneriakan kejayaan orde baru. Orang-orang seperti ini adalah
orang-orang yang kehilangan upah akibat terjadinya perbaikan hukum dan
demokrasi. Mereka hanya sedikit, namun menjadi kanker yang sangat
berbahaya.
Peristiwa 27 Juli tidak bisa dilepaskan
dari peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Peristiwa ini mengangkat
tokoh Megawati sebagai orang yang “dizalimi” Orba sebagai tokoh utama
dalam proses reformasi. Partai Banteng Merah yang tadinya hanya sekelas
partai gurem menjelma menjadi salah satu partai terbesar berkat
ketokohan Megawati. Suka tidak suka, Megawati adalah salah satu orang
yang masih konsisten memperjuangkan cita-cita reformasi hingga saat ini.
Pemerintahannya memang tidak lepas dari cacat, namun keteguhannya pada
perjuangan tidak bisa dipungkiri. Ia berbeda dengan tokoh-tokoh seperti
Amien Rais yang dulunya disebut sebagai bapak reformasi namun kini hanya
penggembira dalam politik. Tokoh lainnya yang tetap konsisten adalah
Budiman Sudjatmiko yang kini bergabung dengan PDIP besutan Megawati.
Sejak jaman PRD dulu, ia telah menyatakan sikapnya sebagai pendukung
Megawati. Berbeda dengan misalnya tokoh PRD yang lain seperti Andi Arief
yang kini sibuk berada di bawah bayang-bayang SBY dan mengurusi Gunung
Padang.
Penulis sejarah bisa berbohong tapi tidak
dengan kenyataan sejarah. Reformasi yang kita nikmati sekarang ini
merupakan buah dari perlawanan banyak jiwa terhadap rezim orde baru.
Buah dari doa mereka-mereka yang dizalimi kebijakan orde baru. Buah dari
patahnya tulang belulang, cucuran darah, dan hilangnya nyawa. Oleh
karena itu, terkutuklah mereka yang ingin mengembalikan orde baru…
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
1 comments:
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)